Fotografer Potret Jogja, Solo Indonesia

Jasa Fotografer Potret, Portrait, Portraiture Jogja, Solo, Wonogiri Indonesia

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Fotografer Potret, Portrait, Portraiture Jogja, Solo, Wonogiri Indonesia - Photo Studio - BYOLIVERS
Fotografer Potret, Portrait, Portraiture Jogja, Solo, Wonogiri Indonesia – Photo Studio – BYOLIVERS

Tradisi ‘portraiture’ setelah abad ke XIX lebih didominasi oleh kemunculan fotografi sebagai medium pencipta karya potret fotografi. Hal ini tidaklah lepas dari adanya berbagai inovasi fotografi baik yang menyangkut bahan, alat, teknologi dan baragam upaya teknis kreatif yang memungkinkan munculnya varian tampilan genre karya fotografi di dunia seni rupa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Fotografi potret sebagai salah satu genre dalam domain fotografi ternyata memiliki satu tradisi yang bermula dari perkembangan piktorialisme dalam sejarah senirupa. Keinginan manusia untuk mengabdikan dirinya baik secara fisikal maupun bentuk imajinya terimplementasikan dalam tradisi potret-tampilan jati diri dalam matra visual.

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

FOTOGRAFI POTRET / PORTRAIT, SEBAGAI MEDIA VISUAL CITRA DIRI.

Terkisah dalam sebuah cerita Yunani, tentang seorang pemuda tampan bernama Narcissus yang secara kebetulan melihat refleksi dirinya di permukaan air danau sebagaimana bayangan dalam cermin. Ia jatuh cinta terhadap sosok refleksi dirinya dan akhirnya rela mati tenggelam dengan terjun ke dalam danau demi cintanya pada sosok representasi bayangannya sendiri. Bila dikaitkan maka kisah ini berhubungan dengan fotografi dalam konteks bahwa manusia mempersepsi dirinya dan menyukai refleksi dirinya yang secara kebetulan media fotografi berhasil mengabadikan bayangan cermin tersebut dalam bentuk genre karya fotografi potret.

Secara etimologis, istilah potret merupakan bentuk bahasa dari kata benda ‘portrait’ – portraiture (Inggris) yang berasal dari kata ‘portraire’ (Perancis) atau kata ‘protahere’ (Latin), yang artinya ‘gambar’ atau “PICTURE: especially a pictorial representation (as painting) of a person usually showing his face” (Webster New Collegiate Dictionary, 1981:p.890). Kamus lainnya menyatakan: “PORTRAIT: Painted picture, drawing, photograph, of a person…..”(The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1962: p. 752). Sedangkan dalam The Columbia Encyclopedia disebutkan bahwa portrait adalah:

The likeness of a person either in painting or sculpture has been a favorite art subject at all times…From the middle of the 19th cent. An increasingly large role in the field of portraiture has been played by photography.

Kesan kemiripan (likeness) imaji manusia telah banyak ditampilkan pada awalnya dalam bentuk seni lukis dan seni patung.

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Pada perkembangan selanjutnya mediumnya berubah setelah ditemukannya fotografi sebagai alat perekam sekaligus mengabadikan objek foto manusia sebagai subjek karya fotografi pada pertengahan abad XIX yang lalu.

Dari aspek historis, tradisi penghadiran seni potret dalam bentuk lukisan dan seni patung sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala. Apa yang sudah dilakukan oleh bangsa Mesir kuno beberapa ribu tahun yang silam menunjukkan hal ini sebagaimana yang terdapat pada artefak lukisan potret yang dilukiskan pada setiap penutup peti mati atau sarkofagus raja atau keluarga bangsawan mereka.

Disamping itu juga ada yang berbentuk patung potret ataupun topeng yang dipakaikan pada mumi raja-rajanya seperti pada patung potret Nefertiti dan Tutankhamen.

Dalam hal ini, gambar potret yang dilukiskan pada penutup peti mati tersebut berfungsi sebagai ‘tanda penunjuk visual’ identitas pribadi dari si mati. Dengan kata lain, adanya kepercayaan bahwa si raja yang mati bisa hidup kembali untuk mencari tubuh lamanya akan secara mudah dapat dilakukan karena ada ‘tanda petunjuk’ potret dirinya di atas peti mati tersebut.

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya upaya untuk mengawetkan tubuh si raja yang sudah meninggal dalam bentuknya sebagai mummy. Tradisi tersebut di lembagakan hanya bagi kaum bangsawan atau raja-raja Mesir kuno yang diasumsikan sebagai dewa yang memiliki kemungkinan untuk bisa hidup kembali kelak dikemudian hari. Hal ini tiada lain untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap ide tentang masih adanya ‘kehidupan sesudah kematian’ atau ‘yang mati bisa hidup kembali’ nanti.

Pada zaman Yunani kuno tradisi potret terkait tidak hanya dengan kisah Narciccus saja tetapi juga pada upaya mereka dalam menciptakan patung dewa-dewi mitologi mereka. Konon untuk menciptakan patung seorang dewi Venus atau Aphrodite yang dikatakan memiliki kecantikan yang luar biasa, maka si pematung harus mengumpulkan sebanyak sepuluh wanita cantik dari seluruh Yunani untuk bisa dijadikan sebagai paduan kecantikan sosok dewi mereka.

Hal ini tentu juga berlaku bagi penciptaan patung dewa-dewi mereka yang diciptakan memenuhi kreteria’likeness’ seperti manusia (sesuai dengan ide besar zamannya yaitu Humanism) dan juga diharapkan memiliki ketampanan dan kegagahan yang melebihi dari apa yang dimiliki oleh manusia biasa.

Kenyataan bahwa dewa-dewi mereka ditampilkan sebagai sosok manusia tiada lain karena sesuai dengan apa yang dikatakan oleh filsuf Yunani Protagoras bahwa: “Man is the measure of all things.” Hal ini juga didukung pula oleh pernyataan Sophocles: “Many are the wonders of the world, and none so wonderful as man.” Yang menyiratkan fakta bahwa sosok manusia yang ‘indah’ telah digunakan sebagai bentuk rujukan tampilan ‘potret’ dewa-dewi mitologi yang tersermin dalam karya-karya seni classic mereka.

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Sebagaimana pada zaman Yunani kuno bahwa karya potret dewa-dewi merupakan medium untuk dipuja sebagai alat ritual, maka pada zaman Romawi tradisi potret juga berfungsi sama. Hal ini tertampilkan pada bentuk patung pualam potret kaisar Romawi, Augustus, yang dipuja dan dipposisikan di tempat pemujaan khusus.

Kehadiran patung potret Augustus dengan berbagai attribute kekaisarannya yang didukung oleh sikap gesturnya memperjelas nyata diri dari seorang yang terhormat dan dihormati rakyatnya.

Bentuk tradisi potret pada zaman Romawi juga dinampakkan pada atribut ‘potret’ kaisarnya yang diukirkan sebagai relief pada baju besi untuk berperang panglima perang Romawi. Hal ini disengaja difungsikan unutk memberikan tekanan psikologis pada musuh-musuhnya disamping juga dapat meningkatkan spirit juang bagi yang memakainya yang secara simbolik mengesankan bahwa sang kaisar maju ke medan perang bersama mereka. Potret sang kaisar sering juga ditempatkan sebagai relief rendah pada uang logam sebagai alat tukar menukar dalam hidup keseharian masyarakat.

Dalam konteks ini maka potret kaisar berfungsi sebagai alat dan symbol legalitas transaksi yang diakui secara umum serta mengisyaratkan adanya hegemoni politis terhadap daerah yang ditaklukkan.

Tradisi potret pada zaman Pertengahan di Barat yang dianggap sebagai periode dimana hegemoni keagamaan sangat dominan sangatlah terkait dengan persepsi dan nilai kesakralan agama yang ada. Setiap representasi karya seni yang menampilkan potret figure suci keagamaan harus melalui persetujuan pemimpin keagamaan.

Hal ini terkait dengan tampilan ikon-ikon yang diyakini harus mengikuti petunjuk ‘canon’ tertentu dan dijauhkan dari tampilan bentuk yang menyimpang karena bisa memberikan bias intrepretasi keimanan yang menyimpang dari ajaran dogmatik yang ada.

Zaman Renaissance merupakan era kebangkitan spirit humanitas dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Tradisi potret juga menampilkan semangat zamannya. Hal ini dibarengi dengan kemajuan di bidang perdagangan antar bangsa sehingga menimbulkan kelas sosial baru yang disebut kaum borjuis dengan segala gaya hidup barunya. Kalau sebelumnya penciptaan seni potret hanya diperuntukkan bagi subjek-subjek keagamaan maka keberadaan kaum inilah yang mempopulerkan seni potret secara sekuler. Dalam arti bahwa dominasi kaum theokrasi sudah mulai terkikis oleh nilai- nilai kemasyarakatan yang mereka anut dengan menciptakan seni potret baik berupa seni lukis maupun seni patung sebagai upaya aktualisasi diri mereka sendiri. Perubahan sikap pandang ini adalah refleksi atau spirit zaman humanism sebagaimana yang terlihat pada lukisan pada potret Monalisa karya Leonardo da Vinci.

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Seni potret telah beralih penampilannya ke bentuk yang lebih sekuler dan membumi. Merupakan suatu hal yang terpandang dalam masyarakatnya pada waktu itu bila di masing-masing rumah mereka terpampang karya seni potret mereka dan keluarganya. Hal ini bisa juga dianggap sebagai upaya meningkatkan status sosial mereka.

Pada zaman ini pula telah ditemukan dan didayagunakan apparatus disebut camera obscura dalam rangka untuk mendukung ide ‘likeness’ dalam penciptaan karya lukis terutama seni potret. Apparatus ini pulalah yang nantinya menjadi prototipe kamera modern dengan penambahan lensa, katup rana dan diafragma yang berhasil mulai dikembangkan di pertengahan abad XIX di Perancis dan Inggris.

Penemuan Daguerreotype dan Calotype telah memantapkan perkembangan potret fotografi di Eropa dan Amerika serta ke Asia dan Indonesia. Di samping karena masalah teknis eksposur yang semakin cepat dengan ditemukannya bahan yang lebih peka cahaya, maka fotografi potret semakin digemari dengan tampilnya banyak studio fotografi, seniman fotografi, dan jenis bentuk karya fotografi yang diperdagangkan pada masa itu.

Keberadaan dan perkembangan fotografi tidak saja meningkatkan ‘jati dirinya’ sebagai satu ‘genre’ senirupa yang baru tetapi juga semakin menguatkan ide zaman Renaissance dengan membantu para pelukis potret. Si pelukis tidak perlu lagi berlama- lama memperlakukan modelnya untuk bertahan berjam-jam atau berhari-hari guna dilukis potret. Khusus di Indonesia, tradisi potret telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit ketika sang raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang perkasa Gajah Mada memerintah. Konon pada waktu itu ada utusan dari kerajaan Champa yang menawarkan salah seorang putrinya agar dipermaisurikan oleh Hayam Wuruk dengan harapan agar negaranya tidak diserang oleh Majapahit.

Utusan tersebut membawa potret diri sang putri Champa tersebut dalam lukisan di atas kain sutra. Hal ini tertuliskan pada karya kakawin Empu Tantular.

Demikian juga dalam sejarah seni rupa Indonesia juga telah dikenal beberapa tokoh pelukis potret pada zamannya, Raden Saleh, Basuki Abdulah, Affandhi, dll. Dan tokoh- tokoh pematung potret, Adhy Soenarso, Trubus dan lain-lain seni rupawan yang juga pernah melukis dan membuat patung potret.

Sedangkan dalam sejarah fotografi Indonesia, dikenal pionir fotografi Indonesia, seorang Jawa dari Yogyakarta bernama Kassian Cepas yang juga memulai fotografi potret.

Ia menciptakan seni fotografi potretnya pada paruh abad XIX dengan subjek-subjek fotonya dari kalangan Kasultanan Yogyakarta, yaitu Hamengku Buwono VII dan kerabatnya termasuk juga beberapa penari keraton serta beberapa potret diri Chepas dan keluarganya. Pada zaman modern, tradisi foto potret di Indonesia mengikuti ‘trend’ sebagaimana yang juga berkembang di luar negeri. Fenomena foto studio potret berkembang

pesat dengan menampilkan foto keluarga format yang lebih besar, kualitas foto yang baik dan ditampilkan dengan beragam varian tekstur kertas foto. Nostalgia pada tradisi potret zaman pra-fotografi dahulu yang bermula dari seni lukis potret nampaknya telah dicoba untuk dimunculkan kembali. Hal ini terlihat pada tampilan foto potret dengan kertas foto dengan seting latar belakang dan pencahayaan yang khusus sehingga tampilan foto potretnya persis seperti lukisan cat minyak di atas canvas. Perkambangan lainnya pada fenomena studio foto yang ada di samping foto potret pribadi atau keluarga adalah pelayanan untuk pemotretan perkawinan baik itu dengan tampilan tradisional, casual, maupun secara gaya Barat modern.

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Tradisi ‘portraiture’ setelah abad ke XIX lebih didominasi oleh kemunculan fotografi sebagai medium pencipta karya potret fotografi. Hal ini tidaklah lepas dari adanya berbagai inovasi fotografi baik yang menyangkut bahan, alat, teknologi dan baragam upaya teknis kreatif yang memungkinkan munculnya varian tampilan genre karya fotografi di dunia seni rupa.

Secara teknis, penampilan potret manusia diabadikan tidak hanya bagian wajahnya saja sebagai bentuk nyata dirinya tetapi bisa juga ditampilkan seperempat badan, separuh badan, dan seluruh tubuh. Sebuah karya potret secara kreatif diciptakan dan ditampilkan dalam berbagai jenis posisi objek fotonya atau model, varian ukuran, ragam sisi pandang, dan nuansa pewarnaan yang beragam dalam bentuk penampilannya sebagai potret sosok tunggal maupun dalam kelompok. Pada dasarnya potret harus menyajikan gambaran yang kuat tentang karakter asli yang sejujur-jujurnya dari objek.

DAFTAR PUSTAKA

Atok Sugiarto. 2004 Fotografer serba bias. Jakarta: Gramedia.

Soeprapto Soedjono. 2007 Pot – Pourri Fotografi. Jakarta : Universitas Trisakti.

Penulis Artikel: Wulandari

Fotografer Portrait, Fotografer Jogja, Fotografer Solo, Fotografer Wonogiri, Fotografer Indonesia

Sejarah Singkat Studio Fotografi Potret di Yogyakarta 1945-1975: Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Kreasi Artistiknya

Irwandi Irwandi, G.R. Lono Lastoro Simatupang, Soeprapto Soedjono

Abstract

Penulisan sejarah fotografi di Indonesia pascakemerdekaan boleh dikatakan masih belum banyak dilakukan. Catatan sejarah yang ada lebih mengarah pada perjalanan fotografi dalam merekam momen pra dan pascakemerdekaan, yang sebagian besar bersumber pada foto-foto dokumen milik IPPHOS (Indonesian Press Photo Service). Ini berarti, masih dibutuhkan penelusuran lebih lanjut guna merekonstruksi sejarah fotografi Indonesia dalam bidang yang lain, studio misalnya. Tulisan ini membahas perkembangan studio foto di Yogyakarta pascakemerdekaan. Hal yang dijadikan fokus utama ialah sumber daya manusia, teknologi, dan upaya-upaya artistik yang dilakukan dalam praktik studio foto masa itu. Penelusuran sejarah dilakukan dengan metode wawancara kepada pemilik studio, praktisi fotografi yang merupakan pelaku dan saksi sejarah studio fotografi pascakemerdekaan. Observasi juga dilakukan guna mengetahui lebih detail tentang upaya-kreatif yang dilakukan pihak studio foto dalam mewujudkan karyanya. Dapat disimpulkan bahwa aspek teknologi memberi pengaruh besar dalam proses perwujudan karya foto studio. Dapat terlihat bagaimana para pelaku usaha studio foto mengatasi keterbatasan teknologi.

A Brief History of Portrait Photography Studio in Yogyakarta 1945-1975: Human Resources, Technology and Artistic It’s Creation.

Writing the history of photography in the post-independence Indonesia arguably still not been done. The historical record that there are more leads on a photography trip in the pre and post-independence record the moments, which are largely sourced on the photographs of documents belonging IPPHOS (Indonesian Press Photo Service). This means, still needed further investigation in order to reconstruct the history of photography Indonesia in other fields, for example studio. This paper discusses the development of a photo studio in Yogyakarta post-independence. It is used as the primary focus is human resources, technology, and the efforts made in the artistic practices of the past photo studio. Search history conducted by interview to the owner of the studio, photography practitioner who is the perpetrator and witnesses photography studio post-independence history. Observations were also conducted to determine more details about the creative efforts that made the photo studio in realizing his work. It can be concluded that the technological aspects of great influence in the process embodiment studio photographs. It is noticeable how the photo studio business operators overcome the limitations of technology.

Keywords

sejarah; studio fotografi potret; Yogyakarta

Full Text:

PDF

References

Groeneveld, Anneke. 1989. “Photography in Aid of Science”, dalam Anneke Groeneveld (Ed.), Toekang Potret: 100 Jaar Fotografie in Nederlandss-Indië. Amsterdam: Fragmen.

Knapp, Gerrit. 1999. Céphas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan. Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Strassler, Karen. 2010. Refracted visions: Popular photography and national modernity in Java. Durham and London: Duke University Press.

Haks, Leo dan Steven Wachlin. 2004. Indonesia: 500 Early Postcards. Singapore: Archipelago Press.

Marah, Risman (ed.). 2008. Soedjai Kartasasmita dalam Belantara Fotografi Indonesia. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Soedjono, Soeprapto, Surisman Marah, Edial Rusli. 1999. “Tinjauan Fotografi Salon Foto Indonesia dalam Konteks Pengembangan Seni Budaya Nasional”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.

Informan

Agus Leonardus Sujantoro, fotografer, wawancara dengan penulis, 8 Oktober 2013.

Ana Soetomo dan Tri Poernomo, Pemilik Shanghai Foto (sekatang Delanggu foto), wawancara dengan penulis,10 September 2013.

Cung Mintarto, penerus studio Tik Sun, pemilik Menara Foto, Wonogiri, wawancara dengan penulis, 21 Oktober 2013.

Gianti Indartini, pendiri Studio Tik Sun, wawancara dengan penulis, 1 Oktober 2013.

Herri Gunawan, pemilik Studio Herry Photo, wawancara dengan penulis 30 September 2013.

Johnny Hendarta, pemilik Studio CPC Yogyakarta, wawancara dengan penulis, 22 Januari 2014.

Karen Strassler, Kuliah umum di Program Studi Fotografi, ISI Yogyakarta, 16 Mei 2013

Melliana Oetomo, penerus Studio Shanghai (sekarang Delanggu Foto), Delanggu, wawancara dengan penulis, 10 September 2013.

Sapto Handoyo, pemilik Artha Foto, wawancara dengan penulis, 1 Oktober 2013.

Stephanus Setiawan, Praktisi fotografi, wawancara dengan penulis, 27 September 2013.

Tri Poernomo Oetomo, Penerus Shanghai foto (sekarang Delanggu Foto), wawancara dengan penulis, 10 September 2103.

Yulianto Lie, pemilik Kencana Foto Yogyakarta, wawancara dengan penulis, 6 Februari 2014.

BYOLIVERS Photography

The Art of Storytelling

Mengabadikan momen, kisah cinta, dan senyum bahagia memiliki makna tersendiri di hati. Mengabadikan peristiwa nyata pada gambar menghadirkan kenangan yang berharga.
Passion kami terletak pada pembuatan foto yang mendokumentasikan momen dengan cara yang disengaja, berseni, dan sinematik.

Timeless Aesthetics

Pelajari hasil foto kami

Ini langkah pertama yang paling penting. Lihat semua foto – foto dan portfolio album pernikahan yang kami hasilkan. Coba perhatikan apakah angle-angle foto, teknik pencahayaan, teknik pewarnaan dan hasil akhirnya sesuai dengan selera Anda.

Kenali fotografer kami

Sebelum hari H Pernikahan, pastikan anda sudah berbicara dengan fotografer supaya dapat berkerjasama dengan baik. Beritahu apa saja susunan acara untuk foto-foto pernikahan Anda, termasuk siapa saja yang ingin Anda abadikan.

Pahami paket yang kami tawarkan

Pastikan Anda memahami apa yang Anda dapatkan di paket foto yang Anda pilih. Hal yang perlu diperhatikan termasuk, berapa lama fotografer akan bekerja, berapa album yang Anda dapatkan, berapa banyak foto yang Anda dapatkan, apakah Anda bisa mengajak keluarga dan teman untuk foto studio, serta apa saja yang Anda dapatkan selain album.

Sebelum menandatangani kontrak, Anda dan fotografer harus sepakat terhadap hal-hal tersebut untuk menghindari perselisihan di masa datang. Dengan sama-sama memahami hak dan kewajiban masing-masing semua pihak akan bisa merasa lebih puas.

Kenali biaya lainnya

Selain harga paket, adakah biaya lain yang akan dibebankan kepada Anda. Budget memang hal yang sensitif dalam merencanakan pernikahan. Karena itu, jangan sampai Anda overbudget akibat kurang teliti dalam memeriksa detail kontrak.

Kami juga menawarkan paket ‘upgrade’ dengan beberapa nilai lebih. Jika masih sesuai budget tak ada salahnya menanyakan tentang hal ini. Momen pernikahan seumur hidup sekali tentunya pantas mendapatkan dokumentasi yang baik.

Tanda tangan kontrak

Membaca kontrak yang ada sebelum anda menandatangani atau menyetujui kontrak tersebut. Pastikan semua detil tertulis di kontrak untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.

Waktu penyelesaian

Pastikan anda juga mengetahui hal ini.

Kenali alat – alat fotografi yang kami gunakan untuk pernikahan Anda

Jika Anda mengerti tentang dunia fotografi, tak ada salahnya menanyakan detail-detail teknis seperti apa alat yang digunakan.

Pertimbangkan juga dokumentasi video

Kami tidak satu paket dengan video, tetapi dengan senang hati akan memberi tahu anda banyak rekomendasi luar biasa jika diperlukan.

Info Fotografer Potret, Portrait, Portraiture Jogja, Solo, Wonogiri Indonesia

Mobile : +62 877 5757 5857 (Text only)

email : [email protected]